Selasa, 15 Januari 2013

Artikel Kritik Karya








CERPEN “ANGIN DARI GUNUNG” KARYA A.A. NAVIS
SUATU GAMBARAN TOKOH YANG TIDAK INSPIRATIF




ARTIKEL

disusun guna melengkapi tugas Matakuliah Kritik Sastra







oleh

Evi Dwi Ratnasari
NIM 100210402107








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013






CERPEN “ANGIN DARI GUNUNG” KARYA A.A. NAVIS
SUATU GAMBARAN TOKOH YANG TIDAK INSPIRATIF
Oleh
EVI DWI RATNASARI                  100210402107

1.    Pendahuluan
Karya sastra merupakan  suatu karya yang bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan  karya sastra mampu untuk dianalisis dan diteliti. Penganalisisan dan penelitian ini dilakukan karena suatu karya sastra mempunyai independensi, sehingga layak untuk diteliti dengan mengaitkan teori sastra jika karya tersebut dijadikan objek penelitian, sejarah sastra jika menggunakan pemahaman sebagai pelengkap, dan yang terakhir adalah kritik sastra jika pengukur kualitas atau nilai karya sastra.
Namun, penyusun akan membahas karya sastra yang dikaitkan dengan analisis kritik sastra. Analisis kritik sastra merupakan kajian bertujuan mengapresiasi karya sastra. Analisis kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisisk, gaya bahasa, teknik pencitraan, dan lain-lain sebagainya.
Karya sastra adalah wujud atau cerminan dari perilaku sosial pada  zamannya. Contoh karya sastra antara lain adalah cerpen(cerita pendek). Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan sederhana menceritakan suatu konflik dengan  lugas. Namun, cerpan memiliki struktur intrinsik yang sama dengan novel yang bersifat lebih kompleks.
Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang memiliki nilai manfaat pada pembacanya. Salah satu manfaat yang diberikan adalah sebagai pengalaman pengganti, artinya sebagai pengalaman tidak langsung terhadap pembaca. Selain itu, manfaat cerpen menghibur, memberi  kenikmatan, pengembang imajinasi, dan lain-lain sebagainya.
            Karya sastra yang akan dianalisis oleh penyusun di sini adalah karya sastra cerpen yang berjudul Angin dari Gunung karya A.A. Navis. Cerpen ini dianalisis karena memiliki keistimewaan, keunikan, dan hal yang menarik dan patut untuk dianalisis. Hal-hal tersebut yaitu tentang tokoh dan penokohan yang diciptakan oleh A.A. Navis. Hal-hal tersebut yang menjadi pusat perhatian penganalsisan cerpen ini karena menurut penyusun hal tersebut tidak inspiratif.

2.    Tujuan
Pembahasan diharapkan tetap pada yang telah dimasudkan, sehingga tidak menyimpang atau meluas. Penulis memberi batasan bahwa yang akan dibahas pada pembahasan adalah ketidakinspiratifan cerpen melalui tokoh dan penokohan. Hal ini dilakukan dengan dibuktikannya data-data dari cerpen terkait hal-hal yang tidak inspiratif. Pembuktian ini dimaksudkan untuk  mengkritisi cerpen A.A. Navis yang berjudul angin dari gunung ini karena sudah pasti jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda suatu karya sastra memiliki kekurangan, namun dalam tulisan ini penulis melihat dari sudut pandang tokoh dan penokohan yang terdapat di dalam cerpen tersebut.

3. Landasan Teori
Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya (teori pengkajian fiksi, 1994, 165) mengatakan “Istilah ‘tokoh’menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: ‘Siapakah tokoh utama novel itu?’, dan sebagainya. Tokoh adalah individu ciptaan/ rekaan pengarang yang mengalami peristiwa atau kejadian yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh bisa berwujud manusia, binatang, tumbuhan atau benda-bendayangdiinsankan.(anonim dalam blognya “tokoh dan penokohan”, 2011). Selain itu, pengertian tokoh menurut Kristie Kirana Yapsir, dkk dalam webnya (tokoh dan teknik penokohan, 2011) adalah tokoh dapat merupakan orang, binatang, benda, dan lain lainnya, yang direpresentasikan dalam suatu karya fiksi atau non-fiksi.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa pengertian tokoh adalah sesuatu yang dapat menjawab pertanyaan “siapakah” di dalam suatu karya sastra termasuk novel dan dapat berupa manusia, binatang, tmbuhan atau benda-benda yang dapat diinsankan. serta merupakan ciptaan/ rekaan pengarang yang mengalami periswa kejadian dalam cerita.
Adapun jenis-jenis tokoh berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan,, maka tokoh tersebut terdiri dari tokoh dinamis dan tokoh statis (Burhan Nurgiyantoro, 1994:188). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai adanya akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbern dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994:188). Maksud dari pendapat ini adalah tokoh yang diciptakan tidak mengalami perubahan karakter lain mulai dari awal sampai akhir, contoh: tokoh yang berkarakter baik hati, maka selama dalam kisah cerita tokoh ini tidak menunjukkan karakter di luar yang diciptakan oleh pengarang terhadapnya baik dari ucapan, tindakan, pikiran, dan lain-lain. Tokoh dinamis adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan  (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan (Burhan Nurgiyantoro, 1994 : 188). Maksud dari pikiran Burhan N. tersebut adalah tokoh yang sengaja diciptakan oleh pengarang di dalam suatu kisah cerita yang yang sering mengalami perubahan karakter karena jalannya suatu plot atau peristiwa.
Jika dilihat berdasarkan pentingnya tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 1994:176-177).  tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah
 tokoh yang banyak memberi pengaruh terhadap pengembangan plot hingga menjadi peristiwa dan yang banyak mengalami peristiwa. Sedangkan tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh utama disebut tokoh bawahan.
Selain Selain tokoh, penokohan merupakan hal yang perlu dipaparkan dalam pembahasan ini. Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya mengatakan bahwa “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. (teori pengkajian fiksi; 1994, 166) Albertime Minderop (dalam 08th teater’s blog; tokoh dan penokohan, 2010) mengartikan penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh itu (dalam smabahasaindonesia.blogspot.com, 2009)
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah karakterisasi yang berarti metode atau cara pengarang melukiskan  watak tokoh-tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi yang mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Dalam penokohan, pengarang mempeunyai cara atau teknik tersendiri untuk menciptakan tokoh di dalam cerita. Adapun teknik tersebut menurut Altenbern dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 194), yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik.
Teknik ekspositori adalah teknik pengarang menampilkan tokoh yang diceritakan dengan cara memaparkan secara langsung karakter-karekter atau kedirian tokoh. Sementara teknik dramatik adalah teknik pengarang menampilkan tokoh dengan cara tidak langsung. Adanya cara tidak langsung ini dapat dapat berbentuk teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, dan pelukisan latar.

4. Pembahasan Ketidakinspiratifan Tokoh
Berdasarkan berkembang atau tidaknya tokoh, cerpen “Angin dari Gunung” karya A.A. Navis ini memiliki tokoh dinamis, yaitu : Hard an Nun. Data bahwa kedua tokoh tersebut merupakan tokoh dinamis adalah tokoh tersebut memiliki karakter yang berbeda saat diceritakan dalam cerita saat 9 tahun yang lalu dari masa mereka bertemu dan bercakap-cakap kembali. Mereka memiliki perubahan-perubahan karakter. Selain itu, dalam percakapannya mereka terkadang menjadi pribadi yang optimis dan terkadang menjadi pribadi yang pesimis dan data tersebut dapat ditemui di keseluruhan rangkaian peristiwa yang terjadi. Data-data tersebut meliputi gambaran-gambaran karakter yang didominasi dengan karakter yang tidak bersifat inspiratif. Adapun data-data tersebut meliputi ketidakinspiaratifan pada kejiwaan tokoh, ide-ide/cita-cita tokoh, kreativitas tokoh, tindakan tokoh, pandangan tokoh tentang kehidupan, cara pertanggungjawaban tokoh pada keluarganya, dan lain-lainnya.
Pada data dari cerpen yang menunjukkan ketidakinspiratifan tokoh salah satunya adalah dari hal kejiwaan tokoh pada tokoh Nun, yaitu:
Sejauh mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua pun mengada. Semuanya mengabur, seperti semua tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus juga. Dan seperti angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan. Dan aku merasa diriku tiada.
Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga. Kau berbahagia tentu."
“Aku sendiri sedang bertanya."
"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Dan dia diam lagi. (Baris 1-10);

Kedua tokoh utama tersebut bercakap-cakap, namun dilihat dari tokoh orang ke tiga, Nun, dia menunjukkan bahwa perasaannya ada kekecewaan yang mendalam karena tidak dapat hidup bersama Har selaku tokoh pertama di dalam cerita. Hal ini dibuktikan dengan adanya penegasan gambaran jiwa pada ucapannya yang menyindir, yaitu: "Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kehidupannya tidak bahagia bersama istri atau keluarganya yang dapat dilihat dari ungkapan jelasnya, yaitu  Orang cuma tahu kesukarannya saja. Dengan nuansa pembicaraan seperti ini hanya akan memberikan efek kurang nyaman pada orang lain dalam hal ini adalah tokoh Har. Dia harus menanya ulang “apakah kondisimu  dalam kesengsaraan juga, Nun?” seolah-olah pertanyaan itu harus disampaikan oleh Har. Padahal, seharusnya tokoh Nun tidak mengatakan demikian, namun cukup memberi jawaban yang menyejukkan hati ohrang lain, misalnya:” iya.. semoga kebahagian itu selalu mengiringi waktuku bersama mereka.” Ucapan seperti inilah yang tidak menimbulkan perasaan tidak nyaman pada lawan bicara karena cukup menenenangkan, sehingga lawan bicara tidak curiga dengan kehidupan pembicara.  Selain itu pada cuplikan berikut,
 ... . Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi. "Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau cinta pada istrimu tentu."
"Anakku sudah dua."
"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu bahagia." ...
Dia berhenti lagi. (baris 10-18);
Cuplikan di atas merupakan salah satu cuplikan yang bernuansa sama halnya dengan cuplikan baris 1-10. Pada baris 24-25 ditemukan cuplikan yang menandakan suasana jiwa tokoh yang tidak inspiratif, yaitu:
"Ya. Sudah lama. Tapi kini aku ingat lagi." Dia diam lagi. Dan memandang jauh ke arah gunung itu.(baris 24-25);
Suasana jiwa yang dipancarkan oleh tokoh Nun dari cuplikan di atas adalah Nun tidak mau menerima kenyataan karena dia masih mau mengungkit tentang kejadian 9 tahun lalu. Jika Nun menerima kenyataan, maka tanggapan Nun tidak harus demikian, namun cukup dia memberikan jawaban “ya, aku ingat”.  Tidak perlu penambahan kata“Aku tak pernah mau mengingatnya”. Ungkapan ini merupakan ungkapan kekecewaan, sehingga  dengan cara tiydak mengingat-ingatlah agar Nun mampu menerima keenyataan. Jiwa tidak besar yang dimiliki Nun ini tidak memberi inspirasi bahwa sesungghnya dalam hidup adalah rasa penerimaanlah yang menjadikan seseourang menjadi besar jiwanya. Kondisi kejiwaan lain dari tokoh, yaitu dapat dilihat dari cuplikan berikut:
..."Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi... .(baris 32-36);
Kondisi kejiwaan yang digambarkan dari cuplikan di atas adalah penyesalan dan kesedihan yang terus menerus akibat dari buntungnya tangan. Hal ini menunjukkan bahwa lelaki ini, Nun cengeng. Letak ketidakinspiratifan ini adalah sebagai seorang lelaki, seharusnya Nun tidak mudah menangis karena dalam kehidupan macam-macam cobaan tidak hanya berupa yang nikmat-nikmat saja, tetapi juga yang tidak enak. Jika Nun menangis karena kondisi tangan yang buntung, namun tetap segera memiliki kesadaran untuk melanjutkan hidup dengan semangat karena optimis, maka hal ini yang menjadikan karakter Nun menjadi inspiratif. Sebagai seorang lelaki pula, menangis adalah hal yang menunjukkan kelemahan jika tangisan itu berisi penyesalan yang tidak segera dibangkitkan oleh semangat jiwa dalam hidup. Adapun cuplikan lain yang menunjukkan kondisi jiwa tokoh adalah
... Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan. Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini."... (baris 49-50)
Cuplikan cerpen di atas menunjukkan bahwa jiwa Nun rapuh, tidak dapat melakukan apa pun setelah kebuntungn tangannya.  Padahal dengan keoptimisan dan kesungguhan hidup seseorang mampu melakukan segala hal walau tanpa tangan karena masih ada anggota badan yang lainnya. Kejiwaan tokoh yang demikian ini tidak memberikan inspirasi karena berisi kepasifan dalam hidup dan kepesimisan dan tiada kata tua untuk berkarya. Cuplikan yang tidak inspiratif lain adalah:
...” Tidak setepat itu benar. Aku sedang memikirkan apa yang hendak kulakukan."
"Untuk apa?"
"Untukmu."
"Sia-sia saja." (baris 101-104);
Dari data di atas ditunjukkan bahwa segala hal pemikiran yang dilakukan karena kebuntungan Nun adalah sia-sia atau tidak ada gunanya. Letak ketidakinspiratifan ini adalah tentang kesia-siaan, padahal segala usaha yang dilakukan tidak ada yang tidak bermanfaat.  Pemikiran yang pendek ini yang menjadikan tokoh Nun tidak inspiratif dalam berpikir. Cuplikan lain dari ketidakinspiratifan tokoh dalam cerpen ini adalah:
..."Ya. Tentu saja kau kasihan padaku. Karena kau merasa berdiri di tempat yang sangat tinggi, sedang aku jauh di bawahmu. Lalu dari tempat yang itu, kau memandang kepadaku, 'Oh, alangkah kecilnya kau, Nun, katamu’." (baris 133-135)
Berdasarkan ungkapan yang disampaikan oleh Nun kepada Har menunjukkan adanya perasaan direndahkan oleh Har. Ketidakinspiratifan yang ada adalah adanya prasangka tidak baik kepada Har oleh Nun. Prasangka yang tidak baik ini yang menjadikan kejiwaan tokoh tidak menginspirasi, tidak menginspirasi untuk berbaik sangka. Padahal dengan berbaik sangka sesorang mendapatkan ketenangan. Selain cuplikan di atas, ada satu cuplikan terakhir yang tidak menginspirasi pula, adalah:
... Dia melangkah lagi. Tapi sebentar kemudian dia memaling lagi dan berkata, "Tapi kalau Nenek sudah tak ada lagi, aku juga tidak memerlukan apa-apa pula." (baris 163-164)
Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh tokoh adalah sepi. Kondisi ini melalui ucapannya bahwa tidak ada yang diperlukan lagi setelah neneknya tidak ada. Ketidakinspiratifan ini adalah jiwanya yang kecil karena kepesimisan dalam menjalani hidup karena kebuntungan. Biar bagaimanapun juga, hidup akan tetap berjalan hanya yang dapat merubah adalah kesungguhan dan keoptimisan. 
Hal yang tidak menginspirasi lain adalah terkait cita-cita tokoh. salah satu cuplikan ide tersebut adalah
... Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi....(baris 32-36)
Nuansa cita-cita yang tidak inspiratif di atas adalah dalam kondisi tangan buntung, tokoh Nun tidak optimis untuk bahagia. Padahal, kebahagian akan datang dengan salah satu caranya adalah dengan cara optimis akan bahagia. Keoptimisan inilah yang menjadikan seseorang kuat dalam menjalani hidup. Namun, karakter ini tidak dimunculkan dalam tokoh Nun ini. Selain itu, cuplikan lainnya adalah
. Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan. Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini."... (baris 49-50)
Dari cuplikan di atas tokoh Nun tidak idealis. Ketidakidealisan ini terbukti dari perkataannya bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena keebuntungannya. Sementara pada kata “Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini." menandakan bahwa salama muda, selama buntung, Nun tidak pernah percaya bahwa sesungguhnya dirinya mampu berbuat lebih dari kebuntungannya. Seharusnya Nun tetap percaya bahwa dia tetap bisa melakukan hal yang bisa dia lakukan terhadap keluarganya, termasuk anak-anak dan istrinya. Cuplikan lain adalah
... Ketika aku sadar jalan itu buntu, aku menyesali diriku sendiri. Juga menyesali segala yang sudah terjadi. Dan aku tak bisa berdoa untuknya. Doa serasa tak berharga kini. Tiap-tiap orang punya doa. Dan doa sekadar doa, tak ada gunanya. Maka aku merasa segalanya jadi terbang....(baris 91-94)
Cuplikan di atas menunjukkan bahwa Nun bukanlah pribadi yang taat pada Tuhannya, pribadi yang mudah menyerah. Gambaran ini seharusnya tidak dimunculkan oleh A. A. Navis karena tokoh merupakan tempat  strategis untuk menyampaikan pesan karena ada intinya tidak ada hal yang terjadi untuk disesali, namun direnungi dan diperbaiki. Selain itu masih ada cuplikan ide tokoh yang tidak inspiratif, adalah
... Dia melangkah lagi. Tapi sebentar kemudian dia memaling lagi dan berkata, "Tapi kalau Nenek sudah tak ada lagi, aku juga tidak memerlukan apa-apa pula."... (baris 163-164)
Dari cuplikan di atas ditampakkan bahwa tokoh Nun sungguh tidak mempunya harapan dan cita-cita, parahnya hal ini sudah disampaikan tokoh ininsebelum terjadi neneknya meninggaldunia. Hal ini dapat dilihat bahwa sesungguhnya Nun sudah tidak bercita-cita lagi hanya saja karena neneknya dia bertahan di dalam hidup. Padahal, banyak hal yang menantikan kehadiran Nun termasuk istri dan anak-anaknya yang selama ini dianggap kurang membahagiakannya karena Nun tidak dapat hidup bersama dengan Har kekasihnya dulu.
Perihal kreativitas yang tidak menginspirasi, yaitu pada cuplikan:
Dan tangan itu diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik gunung dari mana angin meniup. Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sebuah ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering kuucapkan untuk anak buahku di front Barat. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu sendiri telah kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika. (baris 52-56)
Dan aku jadi ragu-ragu untuk meyakinkannya lagi. Lalu aku pura-pura tak mendengarkan apa katanya....(baris 118-1119)
Dalam hal kreativitas, tokoh Har kurang kreatif karena untuk menyemangati Nun, ketika Nun sudah berkata tentang kebuntungan yang menimpanaya, maka Har luluh untuk tidak menambah untukmemotivasinya lagi, padahal menyemangati tidak harus menanggapi kesan balik yang diberikan orang yang dismangati. Terkait hal lain selain  ide, kreativitas, gdan kejiwaan tokoh. Berikut adalah tindakan tokoh yang tidak menginspirasi adalah tentang tindakan tokoh, yaitu:
... "Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi. (baris 32-36);
Sebagai lelaki, seharusnya Nun tidak menangis secara terus-menerus karena tangisan Nun ini bukan tangisan yang mengisyaratkan untuk menujukebagkitan, tetapi menuju keputusasaan dan penyesalan yang berkepanjangan. Seharusnya A.A. Navis mewujudkan sikap tokoh ini dalam kondisi menangis untuk sementara waktu dan kemudian bangkit kembali untuk menyusun hidup, bukan keputusasaan dan dan penyesalan yang berkepanjangan. Selain itu ada cupliakan bagian yang lain terkait tidakan yang tidak inspiratif, yaitu:
... Satu demi satu ucapannya bercekauan dalam hatiku. Dan kini kumandangnya lebih menyayat terasa, lebih menusuk. Aku jadi tak berani mengangkat kepalaku. Makin lama kian terkulai keseluruhan adaku di dekatnya.... (baris 80-83)
Cuplikan di atas seharusnya tindakan tokoh Har tidak menunduk dan tak mampu untuk megangkat kepalanya karena hal ini hanya memberi tanda bahwa Har kurang tegas dalam mgenyampaikan idenya, memotivasi Nun maksudnya. Seharusnya apa pun yang diresponkan oleh Nun, Har tetap pada pakndangannya terhadap Nun, sehingga niat sungguh-sungguh terhadap Nun terbaca oleh Nun, bukan sekedar oong kosong bagi Nun. Cupliak lain adalah:
... Lalu ia memandang padaku. Dan tersenyum. Tapi senyumnya ini menusuk hatiku. Aku jadi gugup.
"Mengapa kau tersenyum?" tanyaku dalam kehilangan keseimbangan diriku.
"Mungkinkah orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?" tanyanya dengan suara yang lain sekali bunyinya. Begitu pahit....(baris 113-117)
Sikap Nun senyum pahit kepada Har adalah sikap yang kurang baik karena maksud dari senyuman tersebut  adalah untuk mengungkapkan kekecewaan dan lagi-lagi karena penyesalan akan kebuntunagn yang menimpanya. Seharusnya Nun tidak seanntiasa mengungkapkan protesnya karena hal yang menimpa dirinya secara terus-menerus.  Cuplikan lainnya adalah
... "Ke mana Uni Nun? Melalar saja. Tidak tahu dibuntung awak," gadis kecil berkata lagi sambil memandang padaku dengan curiga dan kebencian....(baris 145-148)
Tindakan dari tokoh gadis kecil ini adalah cerminan bahwa budaya menghargai tidak diciptak oleh A.A. Navis. Seharusnya, nuansa sopan dan santun diciptakan oleh pengarang melalui gadis kecil ini, maka hal ini akan menginspirasi. Namun, tidak demikian. Cuplikan terakhir terkait tindakan yang tidak menginspirasi adalah
... "Nenek memanggil. Cepatlah!" gadis itu memamer lagi.... (baris 153)
Ungkapan di atas adaalh ungkapan tidak sopan jika disampaikan oleh seorang gadis kecil kepada orang tua seperti Nun.
5. KESIMPULAN
                        Cerpen “Angin dari Gunung” karya A. A. Navis adalah cerpen yang  tidak inspiratif melalui tokoh yang digambarkan di  dalamnya. Adapun gambaran-gambaran ketidakinspiratifan ini, yaitu melalui tanggung jawab tokoh, kondisi jiwa tokoh, ide dan cita-cita tokoh, kreativitas tokoh, dan tindakan tokoh. oleh karena itu, maka perlu adanya saran untuk cerpen ini bahwa tokoh merupakan letak strategis untuk menyampaikan pesan apapun kepada pembaca, sehingga pengarang perlu mempertimbanngkan hal-hal apa saja yang perlu dicerminkan kepada tokoh yang dapat menginspirasi melalui  tindakan, ide dan cita-cita, dan lain-lain. 

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2011. Tokoh dan Penokohan.. http://motivasik.multiply.com/journal/item/92?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Kirana, Kristie dkk. 2011. Tokoh dan Teknik Penokohan. https://sites.google.com/site/elisabethpristiwi/tokoh-dan-teknik-penokohan. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Minderop, Albertime.2010. Tokoh dan Penokohan. http://teater08.wordpress.com/2010/07/28/tokoh-dan-penokohan/. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Navis, A. A. 2009.Angin dari Gunung dari Kumpulan Cerpen A. A. Navis. www.google+kumpulan+cerpen+A.A.Navis.com. [kira-kira 6 Oktober 2012]
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
SMA BAHASA INDONESIA. 2009. Perwatakan dan Penokohan. http://smabahasaindonesia.blogspot.com/2009/09/perwatakan-dan-penokohan.html. [kira-kira 25 Oktober 2012]









Tidak ada komentar:

Posting Komentar