CERPEN “ANGIN DARI GUNUNG” KARYA A.A. NAVIS
SUATU GAMBARAN TOKOH YANG TIDAK INSPIRATIF
ARTIKEL
disusun
guna melengkapi tugas Matakuliah Kritik Sastra
oleh
Evi Dwi Ratnasari
NIM 100210402107
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
CERPEN “ANGIN DARI GUNUNG” KARYA
A.A. NAVIS
SUATU GAMBARAN TOKOH YANG TIDAK
INSPIRATIF
Oleh
EVI
DWI RATNASARI 100210402107
1.
Pendahuluan
Karya
sastra merupakan suatu karya yang
bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan
karya sastra mampu untuk dianalisis dan diteliti. Penganalisisan dan
penelitian ini dilakukan karena suatu karya sastra mempunyai independensi,
sehingga layak untuk diteliti dengan mengaitkan teori sastra jika karya
tersebut dijadikan objek penelitian, sejarah sastra jika menggunakan pemahaman
sebagai pelengkap, dan yang terakhir adalah kritik sastra jika pengukur kualitas
atau nilai karya sastra.
Namun,
penyusun akan membahas karya sastra yang dikaitkan dengan analisis kritik
sastra. Analisis kritik sastra merupakan kajian bertujuan mengapresiasi karya
sastra. Analisis kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisisk,
gaya bahasa, teknik pencitraan, dan lain-lain sebagainya.
Karya
sastra adalah wujud atau cerminan dari perilaku sosial pada zamannya. Contoh karya sastra antara lain
adalah cerpen(cerita pendek). Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan
sederhana menceritakan suatu konflik dengan
lugas. Namun, cerpan memiliki struktur intrinsik yang sama dengan novel
yang bersifat lebih kompleks.
Cerpen
merupakan salah satu karya sastra yang memiliki nilai manfaat pada pembacanya.
Salah satu manfaat yang diberikan adalah sebagai pengalaman pengganti, artinya
sebagai pengalaman tidak langsung terhadap pembaca. Selain itu, manfaat cerpen
menghibur, memberi kenikmatan,
pengembang imajinasi, dan lain-lain sebagainya.
Karya sastra yang akan dianalisis
oleh penyusun di sini adalah karya sastra cerpen yang berjudul Angin dari Gunung karya A.A. Navis. Cerpen
ini dianalisis karena memiliki keistimewaan, keunikan, dan hal yang menarik dan
patut untuk dianalisis. Hal-hal tersebut yaitu tentang tokoh dan penokohan yang
diciptakan oleh A.A. Navis. Hal-hal tersebut yang menjadi pusat perhatian
penganalsisan cerpen ini karena menurut penyusun hal tersebut tidak inspiratif.
2.
Tujuan
Pembahasan
diharapkan tetap pada yang telah dimasudkan, sehingga tidak menyimpang atau
meluas. Penulis memberi batasan bahwa yang akan dibahas pada pembahasan adalah ketidakinspiratifan
cerpen melalui tokoh dan penokohan. Hal ini dilakukan dengan dibuktikannya data-data
dari cerpen terkait hal-hal yang tidak inspiratif. Pembuktian ini dimaksudkan
untuk mengkritisi cerpen A.A. Navis yang
berjudul angin dari gunung ini karena sudah pasti jika dilihat dari sudut
pandang yang berbeda suatu karya sastra memiliki kekurangan, namun dalam
tulisan ini penulis melihat dari sudut pandang tokoh dan penokohan yang
terdapat di dalam cerpen tersebut.
3. Landasan Teori
Burhan
Nurgiyantoro dalam bukunya (teori pengkajian fiksi, 1994, 165) mengatakan
“Istilah ‘tokoh’menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab
terhadap pertanyaan: ‘Siapakah tokoh utama novel itu?’, dan sebagainya. Tokoh
adalah individu ciptaan/ rekaan pengarang yang mengalami peristiwa atau
kejadian yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh bisa
berwujud manusia, binatang, tumbuhan atau benda-bendayangdiinsankan.(anonim
dalam blognya “tokoh dan penokohan”,
2011). Selain itu, pengertian tokoh menurut Kristie Kirana Yapsir, dkk dalam webnya (tokoh dan teknik penokohan, 2011) adalah
tokoh dapat merupakan orang, binatang, benda, dan lain lainnya, yang
direpresentasikan dalam suatu karya fiksi atau non-fiksi.
Dari berbagai pendapat di atas dapat
disimpulkan bahawa pengertian tokoh adalah sesuatu yang dapat menjawab
pertanyaan “siapakah” di dalam suatu karya sastra termasuk novel dan dapat
berupa manusia, binatang, tmbuhan atau benda-benda yang dapat diinsankan. serta
merupakan ciptaan/ rekaan pengarang yang mengalami periswa kejadian dalam
cerita.
Adapun jenis-jenis tokoh berdasarkan
kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan,, maka tokoh tersebut terdiri dari
tokoh dinamis dan tokoh statis (Burhan Nurgiyantoro, 1994:188).
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
dan atau perkembangan perwatakan sebagai adanya akibat peristiwa-peristiwa yang
terjadi (Altenbern dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994:188). Maksud dari pendapat
ini adalah tokoh yang diciptakan tidak mengalami perubahan karakter lain mulai
dari awal sampai akhir, contoh: tokoh yang berkarakter baik hati, maka selama
dalam kisah cerita tokoh ini tidak menunjukkan karakter di luar yang diciptakan
oleh pengarang terhadapnya baik dari ucapan, tindakan, pikiran, dan lain-lain. Tokoh
dinamis adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan
(dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan (Burhan Nurgiyantoro,
1994 : 188). Maksud dari pikiran Burhan N. tersebut adalah tokoh yang sengaja
diciptakan oleh pengarang di dalam suatu kisah cerita yang yang sering
mengalami perubahan karakter karena jalannya suatu plot atau peristiwa.
Jika
dilihat berdasarkan pentingnya tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 1994:176-177). tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh bawahan. Tokoh utama adalah
tokoh
yang banyak memberi pengaruh terhadap pengembangan plot hingga menjadi
peristiwa dan yang banyak mengalami peristiwa. Sedangkan tokoh-tokoh yang
mendukung atau membantu tokoh utama disebut tokoh bawahan.
Selain
Selain tokoh, penokohan merupakan hal yang perlu dipaparkan dalam pembahasan
ini. Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya mengatakan bahwa “penokohan” lebih luas
pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca. (teori pengkajian
fiksi; 1994, 166) Albertime Minderop (dalam 08th teater’s blog; tokoh dan penokohan, 2010) mengartikan
penokohan sebagai karakterisasi yang berarti metode melukiskan watak para tokoh
yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Penokohan adalah cara pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para
tokoh itu (dalam smabahasaindonesia.blogspot.com, 2009)
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa penokohan adalah karakterisasi yang berarti metode atau cara
pengarang melukiskan watak tokoh-tokoh yang
terdapat dalam suatu karya fiksi yang mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Dalam penokohan, pengarang
mempeunyai cara atau teknik tersendiri untuk menciptakan tokoh di dalam cerita.
Adapun teknik tersebut menurut Altenbern dan Lewis (dalam Burhan Nurgiyantoro,
1994: 194), yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik.
Teknik
ekspositori adalah teknik pengarang menampilkan tokoh yang diceritakan dengan
cara memaparkan secara langsung karakter-karekter atau kedirian tokoh.
Sementara teknik dramatik adalah teknik pengarang menampilkan tokoh dengan cara
tidak langsung. Adanya cara tidak langsung ini dapat dapat berbentuk teknik
cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh,
reaksi tokoh lain, dan pelukisan latar.
4.
Pembahasan
Ketidakinspiratifan Tokoh
Berdasarkan
berkembang atau tidaknya tokoh, cerpen “Angin
dari Gunung” karya A.A. Navis ini memiliki tokoh dinamis, yaitu : Hard an
Nun. Data bahwa kedua tokoh tersebut merupakan tokoh dinamis adalah tokoh
tersebut memiliki karakter yang berbeda saat diceritakan dalam cerita saat 9
tahun yang lalu dari masa mereka bertemu dan bercakap-cakap kembali. Mereka
memiliki perubahan-perubahan karakter. Selain itu, dalam percakapannya mereka
terkadang menjadi pribadi yang optimis dan terkadang menjadi pribadi yang
pesimis dan data tersebut dapat ditemui di keseluruhan rangkaian peristiwa yang
terjadi. Data-data tersebut
meliputi gambaran-gambaran karakter yang didominasi dengan karakter yang tidak
bersifat inspiratif. Adapun data-data tersebut meliputi ketidakinspiaratifan pada
kejiwaan
tokoh, ide-ide/cita-cita tokoh, kreativitas tokoh, tindakan tokoh, pandangan tokoh tentang kehidupan, cara
pertanggungjawaban tokoh pada keluarganya, dan lain-lainnya.
Pada data dari cerpen yang menunjukkan
ketidakinspiratifan tokoh salah satunya adalah dari hal kejiwaan tokoh pada
tokoh Nun, yaitu:
Sejauh
mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua pun mengada. Semuanya
mengabur, seperti semua tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus
juga. Dan seperti angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan. Dan aku merasa
diriku tiada.
Dan
dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga.
Kau berbahagia tentu."
“Aku
sendiri sedang bertanya."
"Tentu.
Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya
saja."
Dan
dia diam lagi. (Baris 1-10);
Kedua tokoh utama tersebut bercakap-cakap, namun dilihat
dari tokoh orang ke tiga, Nun, dia menunjukkan bahwa perasaannya ada kekecewaan
yang mendalam karena tidak dapat hidup bersama Har selaku tokoh pertama di
dalam cerita. Hal ini dibuktikan dengan adanya penegasan gambaran jiwa pada
ucapannya yang menyindir, yaitu: "Tentu. Karena
tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa kehidupannya tidak
bahagia bersama istri atau keluarganya yang dapat dilihat dari ungkapan
jelasnya, yaitu Orang
cuma tahu kesukarannya saja.
Dengan nuansa pembicaraan seperti ini hanya akan memberikan efek kurang nyaman
pada orang lain dalam hal ini adalah tokoh Har. Dia harus menanya ulang “apakah
kondisimu dalam kesengsaraan juga, Nun?”
seolah-olah pertanyaan itu harus disampaikan oleh Har. Padahal, seharusnya
tokoh Nun tidak mengatakan demikian, namun cukup memberi jawaban yang
menyejukkan hati ohrang lain, misalnya:” iya.. semoga kebahagian itu selalu
mengiringi waktuku bersama mereka.” Ucapan seperti inilah yang tidak
menimbulkan perasaan tidak nyaman pada lawan bicara karena cukup menenenangkan,
sehingga lawan bicara tidak curiga dengan kehidupan pembicara. Selain itu pada cuplikan berikut,
...
. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi.
"Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku
masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau
cinta pada istrimu tentu."
"Anakku
sudah dua."
"Ya.
Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu
bahagia." ...
Dia
berhenti lagi. (baris 10-18);
Cuplikan di atas merupakan salah satu cuplikan yang
bernuansa sama halnya dengan cuplikan baris 1-10. Pada baris 24-25 ditemukan
cuplikan yang menandakan suasana jiwa tokoh yang tidak inspiratif, yaitu:
"Ya.
Sudah lama. Tapi kini aku ingat lagi." Dia diam lagi. Dan memandang jauh
ke arah gunung itu.(baris 24-25);
Suasana jiwa yang dipancarkan oleh tokoh Nun dari
cuplikan di atas adalah Nun tidak mau menerima kenyataan karena dia masih mau
mengungkit tentang kejadian 9 tahun lalu. Jika Nun menerima kenyataan, maka
tanggapan Nun tidak harus demikian, namun cukup dia memberikan jawaban “ya, aku
ingat”. Tidak perlu penambahan kata“Aku
tak pernah mau mengingatnya”.
Ungkapan ini merupakan ungkapan kekecewaan, sehingga dengan cara tiydak mengingat-ingatlah agar
Nun mampu menerima keenyataan. Jiwa tidak besar yang dimiliki Nun ini tidak memberi
inspirasi bahwa sesungghnya dalam hidup adalah rasa penerimaanlah yang
menjadikan seseourang menjadi besar jiwanya. Kondisi kejiwaan lain dari tokoh,
yaitu dapat dilihat dari cuplikan berikut:
..."Ya," katanya dengan suara tak
acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini,
kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti
dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi
segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi... .(baris 32-36);
Kondisi kejiwaan yang digambarkan dari cuplikan di atas
adalah penyesalan dan kesedihan yang terus menerus akibat dari buntungnya
tangan. Hal ini menunjukkan bahwa lelaki ini, Nun cengeng. Letak
ketidakinspiratifan ini adalah sebagai seorang lelaki, seharusnya Nun tidak
mudah menangis karena dalam kehidupan macam-macam cobaan tidak hanya berupa
yang nikmat-nikmat saja, tetapi juga yang tidak enak. Jika Nun menangis karena
kondisi tangan yang buntung, namun tetap segera memiliki kesadaran untuk
melanjutkan hidup dengan semangat karena optimis, maka hal ini yang menjadikan
karakter Nun menjadi inspiratif. Sebagai seorang lelaki pula, menangis adalah
hal yang menunjukkan kelemahan jika tangisan itu berisi penyesalan yang tidak
segera dibangkitkan oleh semangat jiwa dalam hidup. Adapun cuplikan lain yang
menunjukkan kondisi jiwa tokoh adalah
... Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita
mampu berbuat apa yang kita inginkan. Tapi kini aku tentu saja tak dapat
berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan
ini."...
(baris 49-50)
Cuplikan cerpen di atas menunjukkan bahwa jiwa Nun rapuh,
tidak dapat melakukan apa pun setelah kebuntungn tangannya. Padahal dengan keoptimisan dan kesungguhan
hidup seseorang mampu melakukan segala hal walau tanpa tangan karena masih ada
anggota badan yang lainnya. Kejiwaan tokoh yang demikian ini tidak memberikan
inspirasi karena berisi kepasifan dalam hidup dan kepesimisan dan tiada kata
tua untuk berkarya. Cuplikan yang tidak inspiratif lain adalah:
...” Tidak setepat itu benar. Aku sedang
memikirkan apa yang hendak kulakukan."
"Untuk
apa?"
"Untukmu."
"Sia-sia
saja." (baris 101-104);
Dari data di atas ditunjukkan bahwa segala hal pemikiran
yang dilakukan karena kebuntungan Nun adalah sia-sia atau tidak ada gunanya. Letak
ketidakinspiratifan ini adalah tentang kesia-siaan, padahal segala usaha yang
dilakukan tidak ada yang tidak bermanfaat. Pemikiran yang pendek ini yang menjadikan
tokoh Nun tidak inspiratif dalam berpikir. Cuplikan lain dari
ketidakinspiratifan tokoh dalam cerpen ini adalah:
..."Ya. Tentu saja kau kasihan padaku.
Karena kau merasa berdiri di tempat yang sangat tinggi, sedang aku jauh di bawahmu.
Lalu dari tempat yang itu, kau memandang kepadaku, 'Oh, alangkah kecilnya kau,
Nun, katamu’." (baris 133-135)
Berdasarkan ungkapan yang disampaikan oleh Nun kepada Har
menunjukkan adanya perasaan direndahkan oleh Har. Ketidakinspiratifan yang ada
adalah adanya prasangka tidak baik kepada Har oleh Nun. Prasangka yang tidak
baik ini yang menjadikan kejiwaan tokoh tidak menginspirasi, tidak
menginspirasi untuk berbaik sangka. Padahal dengan berbaik sangka sesorang
mendapatkan ketenangan. Selain cuplikan di atas, ada satu cuplikan terakhir
yang tidak menginspirasi pula, adalah:
... Dia melangkah lagi. Tapi sebentar
kemudian dia memaling lagi dan berkata, "Tapi kalau Nenek sudah tak ada
lagi, aku juga tidak memerlukan apa-apa pula." (baris 163-164)
Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh tokoh adalah sepi. Kondisi
ini melalui ucapannya bahwa tidak ada yang diperlukan lagi setelah neneknya
tidak ada. Ketidakinspiratifan ini adalah jiwanya yang kecil karena kepesimisan
dalam menjalani hidup karena kebuntungan. Biar bagaimanapun juga, hidup akan
tetap berjalan hanya yang dapat merubah adalah kesungguhan dan
keoptimisan.
Hal yang tidak menginspirasi lain adalah terkait
cita-cita tokoh. salah satu cuplikan ide tersebut adalah
... Ya," katanya dengan suara tak acuh.
"Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat?
Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar
kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang
sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi....(baris 32-36)
Nuansa cita-cita yang tidak inspiratif di atas adalah
dalam kondisi tangan buntung, tokoh Nun tidak optimis untuk bahagia. Padahal,
kebahagian akan datang dengan salah satu caranya adalah dengan cara optimis
akan bahagia. Keoptimisan inilah yang menjadikan seseorang kuat dalam menjalani
hidup. Namun, karakter ini tidak dimunculkan dalam tokoh Nun ini. Selain itu,
cuplikan lainnya adalah
.
Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan.
Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku
habis sudah ditelan kebuntungan ini."... (baris 49-50)
Dari cuplikan di atas tokoh Nun tidak idealis.
Ketidakidealisan ini terbukti dari perkataannya bahwa dirinya tidak dapat
berbuat apa-apa lagi karena keebuntungannya. Sementara pada kata “Masa
mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini." menandakan bahwa salama muda, selama buntung, Nun tidak
pernah percaya bahwa sesungguhnya dirinya mampu berbuat lebih dari
kebuntungannya. Seharusnya Nun tetap percaya bahwa dia tetap bisa melakukan hal
yang bisa dia lakukan terhadap keluarganya, termasuk anak-anak dan istrinya.
Cuplikan lain adalah
... Ketika aku sadar jalan itu buntu, aku
menyesali diriku sendiri. Juga menyesali segala yang sudah terjadi. Dan aku tak
bisa berdoa untuknya. Doa serasa tak berharga kini. Tiap-tiap orang punya doa.
Dan doa sekadar doa, tak ada gunanya. Maka aku merasa segalanya jadi terbang....(baris 91-94)
Cuplikan di atas menunjukkan bahwa Nun bukanlah pribadi
yang taat pada Tuhannya, pribadi yang mudah menyerah. Gambaran ini seharusnya
tidak dimunculkan oleh A. A. Navis karena tokoh merupakan tempat strategis untuk menyampaikan pesan karena ada
intinya tidak ada hal yang terjadi untuk disesali, namun direnungi dan diperbaiki.
Selain itu masih ada cuplikan ide tokoh yang tidak inspiratif, adalah
... Dia melangkah lagi. Tapi sebentar
kemudian dia memaling lagi dan berkata, "Tapi kalau Nenek sudah tak ada
lagi, aku juga tidak memerlukan apa-apa pula."... (baris 163-164)
Dari cuplikan di atas ditampakkan bahwa tokoh Nun sungguh
tidak mempunya harapan dan cita-cita, parahnya hal ini sudah disampaikan tokoh
ininsebelum terjadi neneknya meninggaldunia. Hal ini dapat dilihat bahwa
sesungguhnya Nun sudah tidak bercita-cita lagi hanya saja karena neneknya dia
bertahan di dalam hidup. Padahal, banyak hal yang menantikan kehadiran Nun
termasuk istri dan anak-anaknya yang selama ini dianggap kurang
membahagiakannya karena Nun tidak dapat hidup bersama dengan Har kekasihnya
dulu.
Perihal kreativitas yang tidak menginspirasi, yaitu pada
cuplikan:
Dan
tangan itu diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik gunung
dari mana angin meniup. Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sebuah
ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering kuucapkan untuk anak
buahku di front Barat. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu
sendiri telah kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika. (baris 52-56)
Dan
aku jadi ragu-ragu untuk meyakinkannya lagi. Lalu aku pura-pura tak
mendengarkan apa katanya....(baris
118-1119)
Dalam hal kreativitas, tokoh Har kurang kreatif karena
untuk menyemangati Nun, ketika Nun sudah berkata tentang kebuntungan yang
menimpanaya, maka Har luluh untuk tidak menambah untukmemotivasinya lagi,
padahal menyemangati tidak harus menanggapi kesan balik yang diberikan orang
yang dismangati. Terkait hal lain selain
ide, kreativitas, gdan kejiwaan tokoh. Berikut adalah tindakan tokoh
yang tidak menginspirasi adalah tentang tindakan tokoh, yaitu:
... "Ya," katanya dengan suara
tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini,
kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti
dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi
segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi. (baris 32-36);
Sebagai lelaki, seharusnya Nun tidak menangis secara
terus-menerus karena tangisan Nun ini bukan tangisan yang mengisyaratkan untuk
menujukebagkitan, tetapi menuju keputusasaan dan penyesalan yang
berkepanjangan. Seharusnya A.A. Navis mewujudkan sikap tokoh ini dalam kondisi
menangis untuk sementara waktu dan kemudian bangkit kembali untuk menyusun
hidup, bukan keputusasaan dan dan penyesalan yang berkepanjangan. Selain itu ada
cupliakan bagian yang lain terkait tidakan yang tidak inspiratif, yaitu:
... Satu demi satu ucapannya bercekauan
dalam hatiku. Dan kini kumandangnya lebih menyayat terasa, lebih menusuk. Aku
jadi tak berani mengangkat kepalaku. Makin lama kian terkulai keseluruhan adaku
di dekatnya....
(baris 80-83)
Cuplikan di atas seharusnya tindakan tokoh Har tidak
menunduk dan tak mampu untuk megangkat kepalanya karena hal ini hanya memberi
tanda bahwa Har kurang tegas dalam mgenyampaikan idenya, memotivasi Nun
maksudnya. Seharusnya apa pun yang diresponkan oleh Nun, Har tetap pada
pakndangannya terhadap Nun, sehingga niat sungguh-sungguh terhadap Nun terbaca
oleh Nun, bukan sekedar oong kosong bagi Nun. Cupliak lain adalah:
... Lalu ia memandang padaku. Dan
tersenyum. Tapi senyumnya ini menusuk hatiku. Aku jadi gugup.
"Mengapa
kau tersenyum?" tanyaku dalam kehilangan keseimbangan diriku.
"Mungkinkah
orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?" tanyanya dengan suara yang
lain sekali bunyinya. Begitu pahit....(baris
113-117)
Sikap Nun senyum pahit kepada Har adalah sikap yang
kurang baik karena maksud dari senyuman tersebut adalah untuk mengungkapkan kekecewaan dan
lagi-lagi karena penyesalan akan kebuntunagn yang menimpanya. Seharusnya Nun
tidak seanntiasa mengungkapkan protesnya karena hal yang menimpa dirinya secara
terus-menerus. Cuplikan lainnya adalah
... "Ke mana Uni Nun? Melalar saja.
Tidak tahu dibuntung awak," gadis kecil berkata lagi sambil memandang
padaku dengan curiga dan kebencian....(baris
145-148)
Tindakan dari tokoh gadis kecil ini adalah cerminan bahwa
budaya menghargai tidak diciptak oleh A.A. Navis. Seharusnya, nuansa sopan dan
santun diciptakan oleh pengarang melalui gadis kecil ini, maka hal ini akan
menginspirasi. Namun, tidak demikian. Cuplikan terakhir terkait tindakan yang
tidak menginspirasi adalah
... "Nenek memanggil. Cepatlah!"
gadis itu memamer lagi....
(baris 153)
Ungkapan di atas adaalh ungkapan tidak sopan jika
disampaikan oleh seorang gadis kecil kepada orang tua seperti Nun.
5.
KESIMPULAN
Cerpen “Angin dari Gunung” karya A.
A. Navis adalah cerpen yang tidak
inspiratif melalui tokoh yang digambarkan di
dalamnya. Adapun gambaran-gambaran ketidakinspiratifan ini, yaitu melalui
tanggung jawab tokoh, kondisi jiwa tokoh, ide dan cita-cita tokoh, kreativitas
tokoh, dan tindakan tokoh. oleh karena itu, maka perlu adanya saran untuk
cerpen ini bahwa tokoh merupakan letak strategis untuk menyampaikan pesan
apapun kepada pembaca, sehingga pengarang perlu mempertimbanngkan hal-hal apa
saja yang perlu dicerminkan kepada tokoh yang dapat menginspirasi melalui tindakan, ide dan cita-cita, dan
lain-lain.
DAFTAR
RUJUKAN
Anonim. 2011. Tokoh dan Penokohan.. http://motivasik.multiply.com/journal/item/92?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Kirana, Kristie dkk. 2011. Tokoh dan Teknik Penokohan. https://sites.google.com/site/elisabethpristiwi/tokoh-dan-teknik-penokohan. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Minderop, Albertime.2010. Tokoh dan Penokohan. http://teater08.wordpress.com/2010/07/28/tokoh-dan-penokohan/. [kira-kira 25 Oktober 2012]
Navis, A. A. 2009.Angin dari Gunung dari Kumpulan Cerpen A. A. Navis. www.google+kumpulan+cerpen+A.A.Navis.com. [kira-kira 6 Oktober 2012]
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
SMA BAHASA
INDONESIA. 2009. Perwatakan dan Penokohan.
http://smabahasaindonesia.blogspot.com/2009/09/perwatakan-dan-penokohan.html. [kira-kira 25 Oktober 2012]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar