KENALI DAN CINTAI BAHASA INDONESIA

“Berbahasa satu,
bahasa Indonesia,” adalah salah satu sumpah para pemuda Indonesia, tepat
80 tahun silam. Tapi bagaimana “nasib” bahasa Indonesia kita? Apakah
pemuda kita kini sudah mengenali bahasa kita? Berikut kilas sejarah
bahasa Indonesia dan apa saja yang sudah terjadi pada pemersatu bangsa
ini.
Sebagai
bahasa yang selalu berkembang, bahasa Indonesia selalu terbuka. Bahasa
Indonesia –sesuai namanya, ‘nesia’ yang ‘indo’- adalah bahasa
kemempelaian yang bersanak-saudara banyak. Artinya, bahasa Indonesia
terbentuk, kemudian dibentuk, di atas wilayah bahasa Melayu sebagai
bagian bahasa-bahasa Austronesia, yakni sebagai lingua franca antar perlintasan suku, sukubangsa, bangsa, dan ras yang silih berganti mendatangi negeri ini. (Lihat Alif Danya Munsyi. 2005)
Akibat dari bahasa Melayu sebagai lingua franca,
maka bahasa melayu diangkat sebagai cikal bakal bahasa Indonesia
mengalahkan saingannya bahasa Jawa, Sunda, dan lainnya yang merupakan
satu diantara bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
Indonesia.
Dalam
proses pembentukan Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang,
tidaklah semuanya murni dari bahasa Melayu. Dalam kosakata bahasa
Indonesia ada yang merupakan hasil dari serapan bahasa luar, misalnya
bahasa daerah (Jawa, Sunda, Sansekerta), bahasa asing (Belanda, Inggris,
Latin, Arab) dan banyak serapan dari bahasa lain laginya yang tidak
penulis sebutkan satu per satu. Dalam proses penyerapan inilah,
terkadang terjadi kesalahkaprahan dalam penyerapan –entah apa alasannya-
dari bahasa asing masuk ke dalam bahasa Indonesia. Berikut saya coba
memberikan beberapa contoh penyerapan bahasa lain –imbuhan –isasi- yang
kurang tepat.
Standarisasi atau standardisasi?
Anda
tentu memerhatikan, kata standarisasi bersaing pemakaiannya dengan kata
standardisasi. Misalnya saja, sebuah badan negara menggunakan kata
standardisasi sementara ada juga lembaga pendidikan tinggi yang
menggunakan kata standarisasi. Kata yang kita permasalahkan ini berasal
dari bahasa Inggris, standardization (atau ada juga yang menulis standardisation). Kata asalnya adalah standard yang kita serap menjadi kata standar. Sementara kata standardization kita serap menjadi standardisasi, bukan standarisasi.
Mungkin
ada yang bertanya, “Mengapa bukan standarisasi yang benar? Bukankah
kata standar jika diberi akhiran -isasi akan menjadi standarisasi?”
Jawabannya adalah karena akhiran -isasi adalah akhiran asing yang tidak
dikenal dalam bahasa Indonesia sehingga harus diserap sebagai bagian
kata yang utuh. Dengan demikian, kita harus menyerap kata tersebut dari
bentuk asalnya, yakni standardization, menjadi standardisasi seperti juga pada kata implemen dan implementasi.
Legalisasi, modernisasi dan normalisasi
legalisatie, legalization menjadi legalisasi
modernisatie, madernization menjadi modernisasi
normalisatie, normalization menjadi normalisasi
Contoh
di atas memerlihatkan bahwa dalam bahasa Indonesia kata legalisasi
tidak dibentuk dari kata legal dan unsur –isasi, tetapi kata itu diserap
secara utuh dari kata legalisatie atau legalization. Begitu juga halnya kedua kata yang lain, yaitu normalisasi dan modernisasi. (lihat Buku Praktis Bahasa Indonesia. 2007)
Bahasa Indonesia tidak menyerap unsur asing –isatie atau –ization menjadi
–isasi, tetapi akhiran tersebut diserap secara utuh bersamaan dengan
kata aslinya. Jadi hal ini hendaklah –kita sebagai pengguna bahasa
Indonesia- memerhatikan secara seksama dalam proses pembentukan kata
yang diserap dari bahasa asing.
Selain
unsur –isasi di atas, ada juga satu kosakata dalam bahasa Indonesia
yang sering kurang tepat penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari maupun
situasi resmi. Sesuai dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
sebagai bahasa utama dalam situasi resmi, kita harus menghindari seminim
mungkin kesalahan dalam berbahasa. Baik itu lisan maupun tulisan.
Pungkir atau Mungkir?
Perhatikan kalimat berikut!
”Tidak bisa dipungkiri lagi Sobat, keputusan sudah bulat”
”Tidak. Kita bisa memungkiri keputusan tersebut!”
Kalimat pertama menggunakan kata “dimungkiri”, sementara kalimat kedua memakai
kata “dipungkiri”. Mana yang benar?
’Mungkir’
dalam KBBI berarti tidak mengakui, tidak mengiakan, menolak,
menyangkal. Inilah kata yang baku. Lalu, bagaimana dengan kata pungkir?
Pungkir adalah kata yang tidak baku dari kata mungkir sehingga kita
sebaiknya mengatakan “tak bisa dimungkiri”,
bukan “tak bisa dipungkiri”.
Dalam berbahasa Indonesia, khususnya dalam kegiatan menulis sering
terjadi kesalahan yang apakah kurang diperhatikan atau tidak tahu, atau
mungkin saja karena sudah menjadi kebiasaan. Saya juga sebagai penulis
artikel ini bukanlah seorang yang pakar dalam menulis dengan kaidah yang
baik dan benar, tetapi belajar menulis dengan bahasa Indonesia yang
baik dan benar sekaligus menghormatinya. Hidup bahasa Indonesia!!!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar